Selasa, 03 Februari 2015

Guruku, Dokter Cinta



Kiera menatap tak percaya pada kalender yang ada di depannya. Sisa waktu liburnya tnggal dua hari. Dan hampir dua minggu waktu yang dimilikinya untuk mengejar sang pangeran es Himalaya tetap belum berhasil. Kiera rasanya mau meledak saat itu juga. Seketika ia terduduk di lantai kamarnya dan meraung sejadi-jadinya seperti korban kebakaran yang kehilangan semua harta bendanya.
"Huahhaha......." teriak Kiera histeris.
Kiesha yang ada di dalam kamarnya seketika berlari ke kamar Kiera untuk mencari tahu apa yajg terjadi.
"Ada apa Kie?" tanya Kiesha mendapati kakaknya sedang meraung-raung di lantai.
"Sha... dua hari lagi Sha, dua hari...." Kiesha tidal mengerti apa yang dibicarakan Kiera.
"Apaan sih? Dua hari? Emang kenapa dengan dua hari, kamu mau mati?" secepat kilat Kiera berditi demi mendengar ucapan keterlaluan Kiesha. Ia berniat menendang bokong adiknya itu, namun dengan gesit Kiesha menghindar hingga Kiera hanya menendang udara dan akhirnya ia jatuh lagi dengan sempurna di lantai.
"Kurang ajar!" maki Kiera.
"Makanya jangan suka pake kekerasan," ledek Kiesha, "emang kenapa dengan dua hari lagi?"
"Waktu liburan Sha. Waktu liburku terbuang sia-sia buat ngejar makhluk batu gak jelas itu. Sha...Gimana dong?"
"Gimana apanya? Itukan konsekuensinya?"
"Waktu liburku amblas, tiket ke Bali juga bakal say goodbye..."
"Heuh, dasar cewek sableng..." Kiesha meninggalkan Kiera yang masih meraung histeris di lantai.
Sepeninggal Kiesha, Kiera menghentikan aksi histerisnya. Ia duduk diam sambil merenung, namun tiba-tiba berucap, "Jejeritan gitu haus juga ya? Ambil jus, ah, di bawah," dan seolah tidak pernah terjadi apapun, Kiera turun ke dapur dan dengan berangasnya ia menjarah isi kulkas. Mulai dari jus, susu, es krim, roti, hingga buah, ia angkut dan ungsikan ke dalam kamarnya.
"Ini persiapan buat jejeritan histeris, biar gak bolak-balik," ucap Kiera tanpa rasa bersalah pada penghuni rumah yang lain.
Tak berapa lama, mamanya turun ke dapur dan saat ia membuka pintu lemari es, betapa terkejutnya ia saat melihat hampir seperempat isi kulkas yang baru saja ia penuhkan menghilang dengan drastis.
"Kiera........" jerit mamanya, dengan cepat Kiera mengunci pintu kamarnya sebelum di dobrak tanpa ampun oleh Kiesha dan mamanya.
Mama Riva terlihat begitu antusias menceritakan pertemuannya dengan Kiera siang tadi di rumah sakit pada suaminya. Ia bercerita bagaimana hebohnya kantin saat Kiera menghibur mereka semua dengan tariannya. Mamanya juga bercerita bahwa Kiera adalah sosok anak yang lucu dan sangat ramai. Tidak akan bosan siapapun yang bertemu dengan gadis itu. Namun Riva tetap tidak antusias, ia hanya mendengarkan saja mamanya bercerita panjang lebar tentang Kiera.
"Kalau Papa ketemu sama dia, Papa pasti juga bakal terhibur," ucap Mamanya antusias.
"Yang ada Papa bakal kena serangan jantung kalau ketemu sama dia," cibir Riva, kemudian ia beranjak pergi ke ruang kerjanya meninggalkan kedua orangtuanya. Mamanya tersenyum mendengar nada sarkastis Riva terhadap Kiera.
"Hm... Riva cuma pura-pura. Dalam hati dia pasti juga membenarkan kalau Kiera itu anak yang menyenangkan," gumam mamanya.
Di dalam kamarnya, Riva tidak dapat berkonsentrasi terhadap apapun yang sedang dikerjakannya. Ia masih terbayang kejadian tadi saat Kiera menari di kantin dan saat gadis itu dengan mahirnya bermain ukulele sambil bernyanyi. Riva sendiri tidak mengerti mengapa ia tidak bisa mengenyahkan bayangan gadis itu dari kepalanya. Semakin sering Kiera mengganggunya semakin sering bayangan Kiera muncul di kepala Riva. Sebagai dokter ia mencoba mencari penjelasan logis dari semua ini. Namun sebagai pria yang pernah jatuh cinta, ia tahu apa yang ia rasakan saat ini. Walau belum dalam taraf jatuh cinta, namun Riva tahu bahwa ia mulai terpengaruh dengan keberadaan Kiera di hidupnya.
"Kenapa pengacau itu gak bisa hilang dari pikiranku?" gumam Riva pelan.
Hari ini ia harus bisa membuat sedikit kemajuan. Ia dan Riva harus selangkah lebih maju. Kiera bertekad bahwa ia tidak akan menyerah. Ia harus bisa. Ia harus mendapatkan tiket ke Bali.
"Demi Bali!!!!!" teriak Kiera di depan cermin
"Hoi... Papa mau berangkat tuh!" Kiesha masuk tiba-tiba mengejutkan Kiera.
"Ketuk pintu dulu Sha...." teriak Kiera kesal, namun adiknya itu malah melengos pergi, tak menghiraukan teriakan kesal Kiera.
Setiba di rumah sakit Kiera mencari keberadaan Riva di ruangannya. Namun ia tidak menemukan pria itu.
"Mungkin dia lagi meriksa pasien," gumam Kiera.
Iseng-iseng Kiera memeriksa ruang kerja Riva. Ia membuka buku-buku dan catatan yang ada di atas meja Riva. Ia juga mengenakan jas kerja Riva yang tergantung di dinding. Kiera mematut-matur dirinya di depan jendela.
"Dokter Kiera.... hahahaha," gumam Kiera menertawakan dirinya.
Kemudian ia dudukvdi kursi kerja Riva dan memakai kacamatanya. Kiera memutar-mutar tubuhnya di kursi Riva kemudian meletakkan kakinya di atas meja. Tiba-tiba pintu terbuka dan dua orang pasien masuk ke ruangan. Kiera dengan terburu-buru menurunkan kakinya.
"Dimana dokter Riva?" tanya seorang dari mereka.
"Dokter Riva...eh.. dokter Riva sedang ngecek pasien," ucap Kiera asal.
"Dokter siapa?" tanya pasien lagi. Sementara itu pria di sebelahnya sudah kelihatan kesakitan.
"Dokter?" gumam Kiera dalam hati. Ia ingin tertawa saat pasien itu memanggilnya dokter. Apa ia pantas menjadi dokter? pikir Kiera. Rasa geli yang menggelitik tiba-tiba memunculkan ide gila di kepalanya. Ide yang mungkin agak keterlaluan. Jika kedua pasien itu memanggilnya dengan sebutan dokter, maka Kiera ingin sedikit bercanda dengan menjadi dokter.
"Saya... asisten dokter Riva," ucap Kiera serius.
"Begini dok, Suami saya mengalami nyeri di dadanya. Obat yang kemarin diberikan dokter Riva kelihatannya tak bekerja sama sekali," jelas istri si pasien
" Siapa nama suami Ibu?" tanya Kiera sambil membuka buku catatan pasien.
"Herman Gunawan,"
"Herman...Herman.. ah ini dia," ucap Kiera saat ia menemukan nama Herman di daftar pasien itu.
"Apa perlu diperiksa dok?" tanya istri pasien lagi.
"Periksa?" ucap Kiera bingung, "Gak perlu, saya akan kasih obat saja untuk mengurangi rasa nyerinya," ucap Kiera lagi tanpa berpikir panjang.
Ia bergerak ke lemari yang berisi obat-obatan. Kiera lalu memeriksa beberapa obat. Sebenarnya Kiera bingung karena ia sama sekali tidak tahu apapun tentang obat dan penyakit. Namun karena sudah berbohong, ia meneruskan kebohongannya.
"Aduh, tulisannya kok awut-awutan, kaya cakar ayam, "gumam Kiera pelan saat membaca tulisan yang ada di bungkus obat-obatan itu.
Kiera mencoba membaca tulisan yang tertera. Dan saat menukan tulisan yang mirip sepertimkata jantung, Kiera mengambil obat itu dan menyerahkannya pada pasien tanpa tahu apa yang akan terjadi akibat perbuatannya.
Tak lama setelah kepergian pak Herman dan istrinya, Riva kembali ke ruangannya. Ia yerkejut saat mendapati Kiera tengah bermain-main di kursinya. Dengan kesal Riva menghentikan kursi yang berputar-putar itu dan menarik Kiera berdiri dari kursinya.
"Kamu...." teriak Riva saat melihat Kiera mengenakan jas kerjanya. "lepas..." dengan paksa Riva melepas jas yang dipakai Kiera.
"Pelan-pelan Pak Riva, sakit..." protes Kiera saat Riva membuka paksa.
"Jangan masuk sembarangan ke ruangan saya dan keluar!" bentak Riva. Karena terkejut, Kiera segera keluar dari ruangan itu.
"Dasar Galak!" umpat Kiera saat ia telah keluar dari ruangan itu.
Sore itu terjadi keributan di ruang ICU, Seorang keluarga pasien terlihat mengamuk terhadap dokter Riva. Ia menuntut Riva atas tuduhan mal praktek. Orang tersebut adalah istri dari pasien bernama Herman yang tadi menemui Kiera.
Awalnya Riva tidak mengerti, namun saat wanita itu menyebutkan tentang asistennya, otak Riva segera bekerja.
"Kita selesaikan masalah ini nanti. Yang penting saat ini, ijinkan saya menangani suami anda," pinta Riva panik, "jika tidak segera ditangani, kondisi pasien akan lebih buruk,"
Melihat kesungguhan ucapan Riva dan memikirkan kesehatan suaminya, akhirnya sang istri menerima saran Riva untuk menangani suaminya lebih dulu. Setelah hampir satu jam berkutat di ruang operasi, akhirnya Riva keluar dan mengabarkan bahwa kondisi Herman baik-baik saja. Istrinya cukup lega. Dan untuk masalah dugaan mal praktek, Riva memohon agar hal itu tidak diperpanjang karena Riva akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk kesehatan pasien dan juga biaya pengobatan. Akhirnya setelah mencapai kesepakatan bersama masalah pun dapat diselesaikan. Tapi bagi Riva masalah belum selesai. Ia masih punya urusan dengan pembuat kekacauan itu.
Kiera yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, masih bisa duduk dengan tenang di ruang kerja papanya. Namun ia dikejutkan dengan kehadiran Riva yang langsung menerobos masuk dan menariknya keluar dari ruangan itu. Riva menyeret Kiera ke taman belkang yang selalu sepi dari pengunjung jika telah sore. Tanpa ampun ia langsung menghakimi Kiera.
"Kamu... karena ulah kamu yang sok tahu, hampir saja nyawa seseorang melayang!" bentak Riva.
"Pak Riva ngomong apa sih?" tanya Kiera belum mengerti.
"Karena ulah kamu yang sok tahu, Pak Herman hampir celaka!"
"Pak Herman?" Kiera mencoba mengingat, "Oh Pak Herman,"
"Ya. Dan kamu tahu, karena sembarang obat yang kamu kasih, Pak Herman hampir saja meninggal. Kamu tahu apa artinya itu Kiera?", wajah Kiera mendadak pucat saat Riva mengatakan bahwa pak Herman hampir mati karena obat yang diberikannya.
"Kamu hampir membunuh orang, kamu hampir jadi pembunuh Kiera!", Kiera menutup wajahnya dengan tangan. Berusaha menahan rasa takut dan tangisnya karena bentakan dari Riva.
"Kamu tahu karena tindakan bodoh kamu, hampir saja membahayakan semua orang. Saya, Papa kamu, rumah sakit, dan pastinya hampir menjebloskan kamu ke dalam penjara jika sampai nyawa Pak Herman tidak tertolong," Kiera menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangisnya yang hampir pecah.
"Kiera, nyawa seseorang itu bukan mainan. Kamu boleh mempermainkan hal lain tapi tidak dengam nyawa orang lain. Apa kamu gak pernah berpikir apa yang kamu sebabkan untuk semua orang karena kebodohan kamu itu?" Riva terus saja membentaknya membuat Kiera tak dapat lagi menahan tangisnya. Airmatanya jatuh perlahan-lahan, namun sedapat mungkin Kiera berusaha menahan agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Kamu tahu, saya paling benci dengan oramg yang sok tahu, dan selalu menganggap semua hal dalam hidup ini cuma permainan," Kali ini Riva menatap tajam Kiera. Ia sama sekali tidak peduli gadis di depannya itu sudah berurai airmata, "Camkan ini Kiera, lain kali kalau mau melakukan tindakan bodoh pikir dilu pakai otak kamu!", dan Riva meninggalkan Kiera yang sudah menangis tersedu-sedu karena kata-kata kejam dari Riva. Gadis itu berlari meninggalkan taman dan segera menuju gerbang depan untuk mencari taksi. Ia tidak ingin menunggu papanya. Lagipula ia tidak sanggup jika harus menjelaskan kekacauan yang ia buat pada papanya. Dan satu-satunya hal yang paling ingin Kiera lakukan adalah pergi menjauh dari tempat itu. Menjauh dari Riva.
Riva tidak dapat memejamkan matanya. Padahal hati sudah terlalu larut dan tubuhnya butuh istirahat setelah bekerja seharian penuh. Apalagi saat tenaga dan emosinya di kuras habis menghadapi persoalan yang terjadi sore tadi di rumah sakit. Walau masalah telah selesai, masih ada hal yang mengganjal di hatinya. Setelah membentak dan memarahi Kiera habis-habisan, terbersit penyesalan di hati Riva. Ia menyadari bahwa apa yang Kiera lakukan memang salah. Tapi ia juga sangat keterlaluan menghukum gadis itu. Gambaran Kiera yang menangis saat ia membentaknya tak jua hilang dari ingatannya. Saat melihat Kiera menangis timbul rasa bersalah dan penyesalan di hati Riva. Gadis nakal yang selalu ceria itu begitu ketakutan dan merasa sangat bersalah. Sejujurnya Riva marah bukan hanya karena tindakan bodoh Kiera, tapi juga karena ia mengkhawatirkan semuanya. Ia mengkhawatirkan nyawa pasien, reputasinya dan rumah sakit, perasaan dokter Marwan jika ia tahu apa yang menimpa putrinya dan diatas segalanya, Riva mengkhawatirkan gadis itu. Karena itu ia bertekad untuk meminta maaf pada Kiera atas sikap kasarnya tadi.
Di sisi lain, Kiera juga tidak bisa menghilangkan bayangan kemarahan Riva sore tadi. Melihat Riva yang kemarahannya melebihi longsoran salju Himalaya membuat Kiera ketakutan setengah mati. Kiera sadar, apa yang ia lakukan memang salah. Apalagi jika sampai pak Herman meninggal, maka bisa dipastikan ia akan dijebloskan ke penjara dan akan membuat keluarganya malu dan sedih. Namun tetap saja kemarahan Riva adalah hal yang paling menyakitkan baginya dibandingkan masalah penjara atau beban moral lainnya. Lewat tengah malam isak tangisnya belum juga berhenti. Seumur hidupnya baru kali ini Kiera dibentak dan dimarahi habis-habisan. Dan baru kali ini juga ia menangis tak henti-hentinya dan penyebabnya adalah Riva.
Pagi itu Kiera turun untuk sarapan dengan mata yang sembab. Orang-orang di rumahnya bingung dengan apa yang terjadi padanya. Apalagi pagi ini Kiera tidak secerewet biasanya. Ia tampak lebih pendiam dan tak bersemangat. Bahkan saat papanya mengajaknya ke rumah sakit, Kiera tidak menjawab apapun. Setelah sarapan ia kembali lagi ke kamarnya.
"Kiera kenapa Pa? Sejak pulang dari rumah sakit kemarin dia murung terus. Gak mau keluar kamar," tanya mamanya pada papa Kiera. Namun papanya hanya mengangkat bahu tak mengerti.
Melihat kakaknya yang murung, Kiesha menelpon Kana dan meminta Kana untuk mengiburnya. Begitu mendapat telpon dari Kiesha, Kana langsung bergerak ke rumah Kiera dan menyeret sahabatnya itu dari kasur.
"Mau kemana sih Ka?" tanya Kiera dengan nada tak bersemangat.
"Pantai," ucap Kana membuat Kiera terkejut, "ini hari terakhir liburan kita, dan aku udah telpon anak-anak untuk siap-siap. Kita ketemu disana,", Kana menyiapkan segala keperluan Kiera dan menyeretnya turun lalu mendorongnya ke mobil Kana.
"Have fun ya!" teriak Kiesha dari teras depan, dan Kana melambaikan tangan sebelum pergi ke arah Kiesha.
Mereka tiba lebih cepat dari perkiraan karena Kana menyetir dengan kebut-kebutan. Jantung Kiera hampir copot mengetahui kemampuan menyetir sahabatnya itu.
“Kalau kamu bisa nyetir lebih gila dari supir Metro Mini ngapain pake supir Ka?” teriak Kiera sambil berpegangan ketakutan.
“Malas Kie,” balas Kana cuek.
Sesampai di pantai beberapa teman sudah menyambut mereka. Semuanya melepas rindu karena hampir dua minggu tidak bertemu. Setelah acara melepas rindu selesai, mereka mulai berlari menuju laut lepas. Semua terlihat atusias. Tapi Kiera justru menjauh dari kerumunan dan berjalan seorang diri di pinggiran pantai. Tak ada satu orangpun yang menyadari hal itu. Padahal biasanya, Kieralah orang yang paling eksis dan anutusias setiap kali mereka berlibur.
Di tempat berbeda, Riva baru saja sampai di rumah Kiera. Ia bermaksud untuk meminta maaf, namun ia harus kecewa saat Kiesha mengatakan bahwa Kiera tidak ada di rumah karena sedang pergi bersama teman-temannya ke pantai. Setelah mendapatkan lokasi pantai yang di tuju Kiera dan teman-temannya, tanpa pikir panjang Riva segera meluncur. Tak butuh waktu lama bagi Riva juga untuk sampai di sana. Begitu melihat kedatangan Riva, murid-muridnya berteriak histeris.
“Pak Riva...............” teriak mereka bahkan ada yang dengan berani memeluknya. Riva hanya tersenyum melihat ulah murid-muridnya. Namun diantara mereka semua ia tidak melihat kehadiran Kiera.
“Dimana Kiera?” tanya Riva pada mereka
“Tuh, di sana,” tunjuk Kana pada sosok Kiera yang tengah memandang sendirian ke laut lepas, “hari ini dia agak aneh, Pak, kesambet kali ya?” celetuk Kana, namun Riva tak mendengar. Ia berpamitan pada murid-muridnya karena ada hal yang harus ia bicarakan dengan Kiera.
“Jangan..jangan...” Intan dan Kana saling pandang.
“Wah, Tan, kamu mesti siapin tiket ke Bali nih,” ucap Kana hanya di dengar oleh Intan. Intan hanya mengendikkan bahunya.
“Kiera...” sebuah suara yang memanggil namanya membuat Kiera tersadar dari lamunannya.
“Pak Riva?” ucap Kiera pelan, masih terdengar nada takut dalam suara Kiera.
“Boleh saya bicara sama kamu?” Kiera menatap ragu, ia takut Riva akan kembali mengamuk. “Saya janji gak akan marah, membentak, dan berteriak lagi,” janji Riva, Kiera akhirnya menganggukkan kepala.
“Saya minta maaf,”, mata Kiera terbelalak kaget saat Riva mengucapkan kata itu.
“Kenapa Pak Riva harus minta maaf? Saya yang salah, saya sadar itu. karena ketololan saya, Pak Herman hampir kehilangan nyawanya,”
“Untuk itu, kamu memang salah. Tapi saya minta maaf karena saya sadar sikap saya kemarin benar-benar keterlaluan. Gak seharusnya saya emosi dan teriak-teriak seperti itu ke kamu,”
“Saya pantas kok mendapatkannya,”
“Kiera, kamu tahu, saya marah bukan karena saya benar-benar marah sama kamu,” Kiera mengernyit tak mengerti dengan ucapan Riva.
“Saya marah sebenarnya karena saya cemas. Saya mencemaskan reputasi saya, rumah sakit dan Papa kamu. Dan di atas semua itu, saya lebih mencemaskan kamu,” pengakuan mengejutkan dari Riva membuat Kiera tak bisa berkata apapun.
“Saya cemas kalau sampai semua kacau, kamu akan di penjara. Saya cemas memikirkan bagaimana mental dan kondisi psikis kamu seandainya Pak Herman tidak bisa diselamatkan. Saya benar-benar khawatir tentang kamu, karena itu saya marah dan gak bisa mengendalikan emosi saya,”
Kiera menatap takjub. Ia terpana. Apa benar yang ia dengar barusan? Riva marah karena khawatir padanya, bukan karena benar-benar marah atas tindakan bodohnya. Rasanya hati Kiera berbunga-bunga. Riva tidak menyatakan cinta padanya, namun hanya bentuk kepedulian. Tapi bukankah peduli adalah awal dari cinta. Dan saat itu juga, ada perasaan aneh yang menyusup di hati Kiera. Ia suka. Ia benar-benar menyukai Riva. Sungguh-sungguh, bukan karena pertaruhan. Dan ia menyadari ia benar-benar telah jatuh cinta pada Riva, guru galaknya, pangeran es Himalayanya. Kiera tidak peduli apakah Riva hanya peduli dan tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi satu yang ia tahu pasti. Ia telah jatuh cinta pada Riva.


Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 
biz.