Selasa, 03 Februari 2015

Semua Butuh Waktu



Pagi yang cerah, ku sambut dengan ceria. Pagi ini aku membantu menjual kue buatan ibu. Meski aku anak penjual kue, aku harus tetap bersyukur. Perkenalkan namaku Prita Zaunika, biasa dipanggil Prita. Aku sekolah di SMPN 1 Kadanghaur. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang adik, bernama Shovia Putri Zaunika, mimiliki nama panggilan Shovia. Aku gemar sekali memasak. Biasanya sebelum membantu menjual kue buatan ibu, aku dan adik juga ikut membantu membuat kue. Aku sayang sekali dengan ibu.
Sebelum ayah meninggal, perusahaannya rugi besar. Dan akhirnya ayah mengalami serangan jantung. Sejak saat itu ayah hanya bisa terdiam lemah di kamar. Sejak kerugian perusahaan ayah, ekonomi keluarga kami pun menurun.
Tuhan berkehendak lain. Ayah telah dipanggil oleh-Nya. Kami sungguh sedih atas kepergian ayah. Menurutku, dia adalah seorang ayah bijaksana. Semenjak kepergian ayah, ibu menjadi tulang punggung keluarga. Dengan berjualan kue. Ibu mendapat uang, meskipun tidak banyak dan hanya cukup untuk membiaya sekolah kami dan kebutuhan sehari–hari.
Pada suatu hari aku diundang di pesta ulang tahun Detya. Aku sangat bingung, hadiah apa yang akan diberikan padanya. Apa aku harus meminta uang ke ibu? Tetapi aku tidak tega meminta uang saat kondisi ekonomi keluarga menurun. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak punya apa–apa. Aku ingin sekali membelikan hadiah yang bagus seperti milik Tiara. Tiara adalah sahabat Detya. Mereka adalah anak orang berada. Walaupun mereka anak orang berada, tapi tidak sombong.
Tiba–tiba ibu datang, melihatku sedang melamun dan menghampiriku.
“Kamu kenapa Prit, ngelamunin apa sih?” tanya ibu dengan nada khasnya.
“Enggak apa-apa kok bu, cuma bingung saja Prita kan diundang Detya untuk menghadiri ulang tahunnya. Prita bingung mau memberikan hadiah apa?” jawabku dengan nada sedikit memaksa.
“Kenapa harus bingung, kita kan bisa membuat sesuatu dari bahan yang ada, pasti lebih mengesankan,” tandas ibu.
“Tapi bu, aku ingin hadiah yang bagus seperti milik Tiara!,” kataku dengan penuh kesal.
“Kenapa sih kamu Prit tidak bisa mengerti perasaan ibu?” jawab ibu dengan nada penuh kecewa.
Aku terdiam tanpa kata. Lalu pergi masuk kamar tanpa memperdulikan ibu yang sedang menangis. Aku merenungi sikapku kepada ibu tadi. Setelah lama merenung di kamar, aku memutuskan untuk memberanikan diri keluar lalu menemui ibu yang sedang duduk di ruang tamu sambil menangis. Lalu aku duduk di dekat ibu dan aku raih tangan lembut. Dan aku meminta maaf kepada ibu. “Maafkan sikapku yang egois bu.”
Dengan halus ibu menjawab, “Ibu sudah memaafkanmu kok nak, tapi jangan diulangi lagi ya,” jawab ibu.
“Ya bu,” jawabku dengan penuh salah. Aku peluk ibu karena tidak ingin kehilangannya.
Pada suatu ketika ibu mencoba melamar pekerjaan di sebuah hotel, dan diterima. Aku dan adik sungguh senang. Dan setelah cukup lama ibu bekerja, hotel tersebut berkembang pesat. Ekonomi keluarga kami pun juga ikut bertambah.
“Alhamdulillah,” syukurku.
“Semua yang kita inginkan itu perlu usaha, waktu dan doa. Dan apabila semua usaha telah kita lakukan, hanya tinggal berpasrah atas hasil yang akan kita dapat,” tutur ibu kepadaku dan adikku.
“Ya bu,” jawabku bersamaan dengan Shovia. Dan kami pun berpelukan.
Pada akhirnya aku tahu bahwa segala sesuatu yang kita inginkan pasti butuh waktu dan usaha untuk mendapatkannya.


Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 
biz.